Translate

Saturday, August 27, 2016

DITAMPAR PENJUAL BAKSO DESA


Alkisah…
Beberapa hari yang lalu-menjelang isya-saya dan isteri mencari makan malam yang enak di Kota Berhati Nyaman ini. Bukan hanya mencari, tapi tentu saja akan membelinya juga. Kami perlu makanan yang enak, karena di kota ini sampai waktu itu, kami belum menemukan makanan yang memenuhi selera orang barat seperti kami. Biar cakep-cakep begini, kami (saya dan isteri) kebetulan sama-sama berselera makanan barat. Selera makanan saya adalah makanan Jawa Barat dan isteri berselera akan makanan Sumatera Barat. Sama-sama barat tentunya.

Akhirnya dengan berjalan kaki, kami terdampar di Jalan Agro sekitar bilangan kampus UNY dan UGM Yogyakarta. Jalan kakinya sebenarnya tidak terlalu jauh, karena masih di sekitar tempat kost kami. Kalau kata Bastian Tito dalam cerita Wiro Sableng, kira-kira jaunya sama dengan waktu sepeminuman teh atau seperlemparan tombak. Tapi itu perlu dipastikan bahwa tehnya hanya secangkir (bukan segalon) dan melempar tombaknya juga menggunakan tangan manusia (bukan mesin pelempar roket atau rudal).


Singkat kata singkat cerita, aku dan dia jatuh lapar. Malam itu kami tertarik akan gulai sapi dan sate sapi. Tulisan dan gambarnya pada billboard yang nampak dari kejauhan seperti memanggil-manggil kami untuk menghampiri. Namun sayangnya, setelah didekati ternyata warungnya belum buka. Kata orang di sebelah, penjualnya belum datang. Waduuuhhh.

“Plan A” gagal dan kami sepakat beralih ke alternatif “Plan B”. Kami melipir ke Rumah Makan Padang di dekat-dekat situ. Namun setelah mendekat dan melihat langsung menu masakan pada etalase serta mendengar logat penjualnya, sepertinya ini bukan RM Padang yang kami inginkan. Saya menduga rumah makan ini adalah rumah makan biasa yang mendompleng nama besar Padang. Ini cuma asumsi kami, mudah-mudahan tidak begitu. Akhirnya kami menjauh…

Pun “Plan B” gagal maning son. Akhirnya “Plan C” sebagai alternatif terakhir kami pilih. Kalau “Plan C” ini sampai gagal, sepertinya kami harus balik kanan kembali ke kost dan memilih masak sendiri. Kami sangat kompeten dan terampil memasak soto, atau masak baso, atau masak kari, atau bahkan masak ayam bawang. Walaupun semua masakanya masih dalam versi mie instan. Apa boleh baut dan apa boleh buat ya, namany anak kost.

Berjalan beberapa langkah ke samping RM tadi, ternyata ada yang jualan bakso. Karena hampir putus asa belum berhasil menemukan makanan yang cocok, kami mampir ke warung bakso ini. Sebenarnya bakso (ada juga yang bilang baso) adalah makanan standar, makanan klasik, mudah didapatkan dan harganya terjangkau sebagai pengganjal perut bagi kebanyakan orang.

Warung bakso ini terlihat sederhana dan unik. Bernama Bakso DESA yang memiliki kepanjangan “Daging Enak Sapi Asli”. Untunglah kepanjangannya seperti itu. Kalau saja kepanjangannya jadi “Duite Entek Sapine Ancur” (uangnya habis, sapinya hancur), tentu kami akan berfikir beribu kali untuk mampir ke warung bakso tersebut. Dari beberapa meja dan kursi yang tersedia, hanya sekitar sepertiga kursi yang terisi pembeli yang sedang asyik menikmati bakso. Selebihnya nampak kosong. Entah karena sudah lewat jamnya makan malam atau bahkan belum masuk jamnya makan malam bagi orang-orang di sekitar sini.

Masuk ke dalam warung, terasa ada yang beda. Ada sepercik nuansa religius dan spiritual yang terasa merasuk ke dalam jiwa… Nah yang ini terasa lebay yah… Ya pokoknya, warung bakso ini terasa lain dengan warung bakso kebanyakan. Warung dibuat dengan konsep terbuka dan terlihat bersih, rapi dan sehat.

Dari tempat duduk, saya melirik jauh ke bagian dapur. Karyawan yang kebetulan semua laki-laki sedang asyik dengan pekerjaannya. Nampak seorang karyawan sedang sibuk menggiling adonan tepung menjadi mie. Satu karyawan sedang menyiapkan makanan dan minuman. Karyawan lainnya mondar-mandir mencatat pesanan, membersihkan meja dan mengantar pesanan makanan dan minuman yang sudah dipesan oleh pemesan tanpa pesan-pesan tersembunyi.

Pada backdrop di dalam warung, tertulis nama Warung Bakso DESA beserta menu makanan dan minuman. Pun tertulis “tersertifikat halal beserta logo MUI”. Menurut mereka, kelebihan warung bakso ini adalah bahan bakunya yaitu mie, pangsit dan baksonya dibuat sendiri. Mienya bahkan baru diadon dan digiling menjelang diramu dalam seporsi bakso. Sehingga mie masih “fresh from the gilingan”. Mereka menjamin bahan bakunya berasal dari bahan-bahan yang terpilih, sehat dan pasti halal.

Selain bakso, mereka juga menyediakan mie ayam. Ayam untuk mie ayam ini juga berasal dari ayam kampung, bukan ayam kota atau ayam kampus. Baksonya ada dua jenis yaitu bakso serat (bakso urat) dan bakso mozarella (bakso isi mozarella). Jenis bakso mozarella adalah satu variasi bakso yang mereka unggulkan. Baksonya biasa, tapi isinya yang luar biasa, karena berupa gumpalan keju yang melelah di lidah saat digigit. Sementara dari sudut biru, minuman yang mereka sediakan relatif klasik, yaitu aneka teh dan juice buah segar.

Kami pesan dua mangkok bakso; satu mangkok bakso mozarella dan satu mangkok bakso serat beserta minuman panas teh manis dan teh tarik. Pesanan yang standar dan klasik untuk ukuran pembeli newbie seperti kami. Satu porsi bakso disajikan dalam mangkok yang berisi mie basah berbumbu lezat bertabur bawang goreng. Mangkok kecil semakin menyempurnakan dengan kuah kaldu beserta baksonya.

Pesanan makanan dan minuman datang diantar, dan kamipun menikmati dengan lahapnya. Saat mie diaduk, ditambah kecap, saus pedas, dan sambal, tercium aroma kelezatannya. Garpu menghantarkan selaksa mie ke dalam mulut, disusul potongan bakso mozarella. Rasa gurih mie terasa meronta-ronta di dalam kerongkongan. Rasa daging sapi terasa dilidah disusul rasa keju mozarella yang melumer di ujung lidah. Kuah kaldu mengaduk-aduk mie, bakso dan keju mozarella menuju lambung. Paduan yang cerdas antara enak dan sangat enak.

Saat sedang kecanduan menikmati bakso, kami dikejutkan dengan tamparan keras. Tamparan yang membuat kami kaget dan terperanjat adalah ketika adzan isya berkumandang, semua karyawan bergegas ke masjid untuk melaksanakan kewajiban sholat berjamaah, tanpa terkecuali. Tidak ada satupun karyawan yang tinggal untuk stand by dan menjaga warung. Sebelumnya memang karyawan pengantar bakso, sudah minta izin akan pergi ke masjid ketika adzan berkumandang. Saya kira dia tidak seserius ini. Artinya mungkin hanya dia yang pergi, dan karywan lainnya tetap di warung.


Perkiraan saya salah total.
Kami para pembeli bakso ditinggalkan begitu saja.
Kami yang mau bayarpun, disarankan nanti saja setelah mereka kembali dari masjid.
Kami biasanya hanya mendengar kajadian seperi ini, ada di negeri Arab sana.
Terus terang, muka saya seperti ditampar, ditabok, dan dibogem berkali-kali.
Setelah terluka, dikucuri perasan jeruk nipis dan disiram cuka.
Perih dan pedih…

Ternyata belajar tidak selalu harus ke lembaga formal.
Ilmu bisa kita dapatkan dari mana saja.
Kami sadar selama ini masih belum tepat waktu malaksanakan sholat lima waktu yang wajib.
Apalagi untuk solat sunnah selain sholat lima waktu.
Penjual bakso telah menampar kami dengan contoh langsung tanpa mempermalukan.
Penjual bakso sudah menabok kami melalui ketauladanan nir-menggurui.

Ampuni kami Ya Rabb.
Kami yang kadang lalai, akan seruanmu.
Tampar-tamparlah kami untuk kebaikan di masa depan.
Tentu dengan tamparan asyik yang menyadarkan kami.

Percayalah, daripada ditampar preman secara fisik.
Mending ditampar penjual bakso secara mentalik.

Tapi ada juga yang bilang: Jauh lebih baik tidak ditampar.
Ibarat lagu dangdutnya Meggy Z: Daripada sakit gini, lebih baik tidak sakit.

Selamat menikmati tamparan.

Salam tampaaarrrrr!!!


www.titomedan.blogspot.com


2 comments:

Tiwoe said...

Tampar dengan semangkok bakso

Tito Sucipto said...

tambah... tambaaahhh...